KOTA BEKASI, MEDIA METROPOLITAN – Mafia tanah, merupakan kejahatan pertanahan yang melibatkan
sekelompok orang yang saling bekerja sama, untuk memiliki ataupun menguasai tanah milik orang lain, secara tidak sah.
Para pelaku mafia tanah kerap menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, yang
dilakukan secara terencana, rapi, dansistematis. Pemilikan dan penguasaan tanah secara tidak sah tersebut seringkali memicu terjadinya konflik atau sengketa yang acapkali menimbulkan pertikaian hingga korban nyawa manusia.
Lemahnya pengawasan, penegakan hukum, dan
kurang adanya transparansi merupakan beberapa penyebab terjadinya mafia tanah. Selain itu, sifat abai dari masyarakat
atas tanah yang dimilikinya juga sering dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menguasai tanah secara tidak sah.
Teknik atau cara-cara beroperasi yang digunakan oleh pelaku mafia tanah dalam melakukan kejahatannya, acap kali melakukan pemalsuan dokumen, kependudukan yang ilegal atau tanpa hak, mencari
legalitas di Pengadilan dengan rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, kejahatan korporasi, seperti penggelapan dan penipuan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah dan melakukan jual beli tanah yang dilakukan seolah-olah sah secara
formal.
Seperti dalam perkara Perdata No. 117/Pdt.G/2024/PN. Bks, di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bekasi, terkait adanya upaya saling klaim antara Edison Siregar (Penggugat) dengan Hj. Ani dan anak-anak sebagai ahli waris (Tergugat) atas kepemilikan sebidang tanah milik adat, seluas 5.204 M2, Persil No. 1, Kelas III, Kohir C. 114, yang telah Sertifikat Hak Milik atas nama Hj. Ani, (Objek Perkara) yang terletak di Kampung Rawa Kalong, RT. 004/RW. 005, Kelurahan Arenjaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat. Yang disinyalir adanya praktek dugaan kejahatan oknum mafia tanah.
Nampaknya, atas perkara No. 117/Pdt.G/2024/PN. Bks, tersebut, dugaan praktek mafia tanah dengan melakukan pemalsuan dokumen, kependudukan yang ilegal atau tanpa hak, kemudian mencari legalitas dari Pengadilan untuk kepemilikan sebidang tanah milik adat, seluas 5.204 M2, usaha tersebut haruslah sia-sia berdasarkan Putusan No. 117/Pdt.G/2024/PN. Bks.
Dalam Amar Putusan Majelis Hakim disebutkan
bahwa : Penggugat, Edison Siregar tidak dapat menunjukkan bukti- bukti dan saksi-saksi yang dapat membuktikan mengenai kepemilikan tanah tersebut dan tidak dapat membuktikan adanya tindakan Perbuatan Melawan Hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat, Edison Siregar yang dilakukan tergugat I, H. Ani bin Batong, sebagaimana yang didalilkan dalam gugatannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimba- ngan hukum dalam perkara No. 117/Pdt.G/2024/PN. Bks. Majelis Hakim menyatakan bahwa tuntutan penggugat tidak dapat diterima, gugatan Penggugat ditolak untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara.
Lurah Arenjaya, Pra Fitria Angelia (Turutb Tergugat) menyebutkan melalui Kaur Pemerintahan, Lambang Kara mengatakan, ” terkait putusan permasalahan tanah yang ada di Kelurahan Arenjaya belum bisa komentar, karena salinan putusan Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bekasi belum diterimanya,” ujar L. Kara.
Dengan adanya putusan Pengadilan tersebut, tentu status kepemilikan tanah di wilayah Arenjaya dapat diketahui secara jelas, hal ini akan dapat menambah penghasilan Negara melalui pajak, tambah L. Kara.
Pengacara H. Ani bin Batong yang tergabung di Law Firm NARA & NARAYANA, masing- masing : Apriano Saleh, S.H., Yang. A. H. Nasution, SH., Lutfi Nurawan, SH., dan Marthin Parasian, SH., menilai bahwa putusan Majelis Hakim dalam perkara ini sudah tepat dan sesuai dengan fakta-fakta dalam persidangan.
Untuk selanjutnya, ” Kami Pegacara yang tergabung di Law Firm NARA & NARAYANA, Siap dan akan Bongkar Ulah Mafia Tanah, hal ini telah kami lakukan dengan melaporkan pelaku yang diduga melakukan pemalsuan dokumen dan
pemalsuan kependudukan yang ilegal atau tanpa hak,” yaitu Laporan Polisi (LP) No. STTLP/B. 2247/IV/2024/SKPT/ POLDA METRO JAYA, tertanggal, 24 April 2024 dan LP, No. LP. B. 2154/VI/2024/SPKT. Polres Metro Bekasi, Polda Metro Jaya, tertanggal 01Juli 2024,” ujar Yang. A. H. Nasution, SH.
Pengamat hukum dan Agraria, Sjarifuddin Nasution SH & Associates, Jl. Under Pass No. 53, Keĺurahan Duranjaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.
Sjarifuddin, yang sering menangani pertanahan di wilayah perkotaan maupun daerah mengungkapkan, “Sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten/kota seolah-olah tidak mau tahu dengan adanya konflik agraria di wilayah hukumnya. Terkesan persoalan pertanahan adalah sepenuhnya hak dan kewenangan BPN semata,” ujarnya
Padahal, kata dia, banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota dalam upaya menyelesaikan maupun mengantisipasi terjadinya permasalahan pertanahan. Pemda bisa saja membantu masyarakat untuk melakukan percepatan sertifikasi lahan milik masyarakat yang telah dikuasai bertahun-tahun, atau sudah dikuasainya secara turun-temurun. Pemda juga bisa melakukan pendataan tanah di setiap kelurahan atau desa, dan banyak hal lainnya yang dapat dilakukan oleh pemda.
“Ini hanya persoalan mau atau tidaknya saja,” kata Sjarifudin
Dia melihat selama ini terkesan terjadinya konflik agraria hanya bisa diselesaikan melalui penegakan hukum baik secara pidana maupun secara perdata. Adanya persoalan sertifikat ganda, terkesan pembatalan sertifikat hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan.
Menurutnya, ketika warga komplain atas kepemilikannya seperti, sertifikat atau surat tana girik dan Akte Jual Belu (AJB) yang diduga ganda, atau diduga cacat administrasi atas terbitnya sebuah sertifikat, BPN selalu mengarahkan agar diselesaikan di pengadilan. Seolah-olah tidak ada mekanisme lain, selain di pengadilan.
“Padahal dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan. BPN berwenang utk membatalkan sertifikat hak atas tanah jika diduga cacat administrasi,” ucapnya.
Sjarifudin menjelaskan mekanismenya dapat mengajukan permohonan tertulis pada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui BPN daerah tempat tanah itu. Hal ini diatur pada Permen Agraria No. 9 Tahun 1999, pada Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1). Permohonan itu dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan sertifikat. jelasnya.
Menanggapi Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bekasi, perkara Perdata No. 117/Pdt.G/2024/PN. Bks. Sjarifudin mengungkapkan, “Amar putusan Majelis Hakim sudah tepat, karena saya mengetahui seluk-beluk perkara tersebut. Awalnya saya juga sebagai kuasa dari Edison Siregar untuk mengurus kepemilikan tanah tersebut dengan bukti-bukti kwitansi dan AJB yang belum ditandatangani oleh Lurah serta pengakuan dari Edison tanah tersebut seluas 5.204 M² telah dibelinya tanpa memberikan bukti pembelian atau surat lainnya yang berhubungan dengan tanah tersebut, ketika saya urus ke Kelurahan Arenjaya, ditolak dan pihak kelurahan menyarankan agar menemui H. Ani bin Batong hingga saat ini telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 8028 atas nama Hj. Ani bin Batong, yang terletak di Kampung Rawa Kalong, RT. 004/RW. 005, Kelurahan Arenjaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat
Sebenarnya sesuai bukti, girik C. 114/314, Persil No. 31, Kelas III, tercatat luas tanah tersebut 9.000 M², atas nama Hj. Ani bin Batong, namun yang dapat di setifikatkan hanya 5.204 M², sementara sisanya sudah dimiliki orang dan telah berdiri rumah warga, yang menjadi pertanyaan, atas hak apa mereka menempati tanah tersebut ?, saya sebagai kuasa pemilik Hj. Ani bin Batong tetap akan menelusurinya dan akan membongkar ulah siapa dibalik penjualan tanah tersebut.
Sesuai informasi yang diperoleh dari warga, atas tanah tersebut sudah ada yang memiliki Akte Jual Beli (AJB) yang terbit, yang diduga palsu atau dipalsukan tanpa sepengetahuan Hj. Ani bin Batong dan para ahli warisnya ” ujarnya Sjarifudin di Kantornya 12/9/2024. (beres)